Kata orang, jika mencintai masa sekarang saja tidak mudah mengapa harus mencintai masa lalu? Tetapi pertemuan dengan mantan kekasih cinta pertama sering menarik kita ke masa lalu untuk menikmati kembali gairah dan getar-getar hati penuh misteri yang lama terpendam diam dalam memori. Bernostalgia adalah tindakan yang paradoks di mana kita mencoba menghadirkan kembali masa lampau yang tak mungkin kembali. Tetapi, adakah yang salah dengan nostalgia? Bukankah bernostalgia tidak berdosa dan tidak perlu berdosa untuk bernostalgia? – o – Hapenya setelah mengabari rapat diundur 2 jam, tak bisa dikontak-balik. Pasti dimatikan. Empat manajer pemasaran yang tidak tinggal di Jakarta dan menunggunya di kantor pusat hanya bisa menggerutu. Kepala divisi promosi ini memang easy going tetapi ide-idenya tak pernah habis dalam menyiasati dunia bisnis yang makin sulit. Kata sekretarisnya tadi pagi ia ke Taman Anggrek untuk menemui direktur utama sebuah chain store. Pukul 4 sore menjelang kantor tutup ia muncul dengan wajah penuh senyum. “Sori, aku ketemu urusan penting. Kita rapat di hotel tempat kalian menginap saja,” katanya. Berjalan menuju parking area temannya bertanya, “Seorang direktur chain store pasti ketat dengan jadwalnya. Jadi tidak mungkin karena dia kamu molor sampai 2 jam. Sebetulnya siapa sih yang kamu temui?” “Pintar kamu, Bro. Harusnya kamu pindah ke Market Intelligence Division. Begini. Keluar dari Taman Anggrek, aku ketemu mantan first love-ku lagi cari taksi. Aku antar dia pulang. Aku pikir tidak butuh waktu lama karena rumahnya di Cibubur.” “Kalau hari ini Jakarta banjir dari TA ke Cibubur 2½ jam sudah termasuk cepat,” kata teman yang duduk di jok belakang. Yang disindir tertawa. “Dari TA aku langsung masuk tol. Karena keasyikan ngobrol, waktu berhenti baru aku sadar sudah ada di pintu tol menuju Bogor. Ya aku terus saja ke Bogor. Sampai Bogor aku balik kanan kembali ke Jakarta.” “Ngapain enggak kamu terusin ke Puncak?” tanya teman lainnya. “Bernostalgia ‘kan tidak berdosa dan tidak perlu berdosa. Betul ‘kan, pastor?” tanyanya ke arah teman yang duduk di samping kemudi. “Memang jalan tol adalah tempat paling aman dan paling murah untuk ngobrol dengan selingkuhan selama yang jaga loket tol bukan anak tetangga. Tapi, biar kita-kita ini hilang jengkelnya dan rapat bisa mulus, bagusan kita rapat di restoran Jepang saja.” “Bayarnya patungan?” tanyanya. “Ya enggaklah. Kamu yang salah, kamu yang bayar. Apa perlu aku menelepon istrimu untuk meminjam kartu kreditnya?” Ia tertawa. “Halah, jangan sok ngebandit. Okey, okey, karena aku baru senang, gapapa aku yang traktir. Kita langsung saja ke sana.” – o – Apakah bernostalgia salah? Mengingat masa lalu sering saya lakukan ketika saya merasa gamang menghadapi hari esok; ketika merasa seolah-olah Tuhan tak lagi mendampingi saya. Kita bisa menimba kekuatan baru dengan bernostalgia. Ketika perusahaan memindahkan saya dari Surabaya ke Jakarta, hanya dalam waktu singkat saya merasa tertekan. Beratnya pekerjaan, kusutnya lalu lintas bukan masalah. Tetapi perang intrik yang terjadi di kantor pusat membuat saya terjepit. Suatu hari saking kesalnya saya meninggalkan kantor, meninggalkan semua yang harus saya kerjakan dan meminta sopir mengantar saya ke arah utara kota. Saya mau di Dufan seharian untuk berpikir apakah saya harus meninggalkan perusahaan ini. Ketika sopir bertanya untuk apa saya ke Dufan, saya memintanya tidak bertanya. Sepanjang Jalan Gunung Sahari ia menyetir dengan diam. Saya melihat sebuah pabrik cat di sisi timur jalan. Mendadak saya ingat sesuatu sehingga saya minta sopir mengurangi kecepatan. “Di depan begitu lewat jembatan kecil langsung belok kanan dan berhenti,” kata saya. Dan ia mematuhi perintah saya tanpa bertanya, mungkin karena melihat wajah saya keruh. Saya turun dari mobil. “Saya mau jalan kaki. Kamu terus lurus saja. Setelah lewat pelintasan kereta api, baru kamu belok kanan dan kamu akan bertemu dengan jalan yang lebih lebar. Tunggu saya di sana.” Dia menatap saya tetapi batal bertanya. Mobil melaju meninggalkan saya. Saya tahu ia heran saya mengenal daerah ini walaupun baru 2 bulan di Jakarta dan ia tidak pernah membawa saya ke daerah ini. Ia tidak tahu sekian belas tahun yang lalu setiap pagi saya berdiri di tempat saya saat itu berdiri. Di sinilah dulu setiap jam 9 pagi saya menunggu ayah saya. Setiap subuh ia pergi mengambil bolu kukus dari pembuatnya, menjual ke warung-warung sambil menagih pembayaran bolu yang dititip-jualnya kemarin. Ia menyisihkan labanya dan memberikan kepada saya yang menunggu di tepi kali Ciliwung. Setelah itu ia mengayuh sepedanya ke daerah Kota atau Priok melanjutkan pekerjaannya. Dari uang yang diberikan itu, saya tahu hari itu makan bubur atau nasi dan dengan lauk apa. Saya berjalan menyusuri jalan kecil ini ke arah timur. Di sisi kanan jalan berderet rumah-rumah kayu bertingkat yang dulu tidak ada. Saya tahu di belakang deretan rumah ini ada sebuah kali lebar berwarna hitam dan bau karena berujung di bandara Kemayoran. Setiap minggu bandara membuang oli bekas ke kali ini sehingga ikan lele terapung mabuk. Lele goreng dari kali inilah merupakan menu kami termewah. Sambil berjalan pikiran saya merajut kembali masa lalu yang penuh kegetiran di daerah ini. Seolah-olah saya melihat kembali menjelang tengah hari seperti saat ini Purnomo kecil yang baru kelas 4 SD menggandeng 2 adiknya menyusuri jalan ini yang dulu becek berlumpur tebal pada musim hujan sambil menenteng sepatu untuk naik oplet pergi sekolah di daerah Bungur Besar. Ketika jalan ini bercabang ke kiri saya berhenti melangkah. Saya masuk ke kios di sisi kanan jalan membeli teh botol. Saya duduk di depan kios nanar memandang toko di seberang jalan. Ketika mata saya berembun, saya melihat sebuah gubuk di situ. Itulah tempat tinggal kami sekeluarga. Di sampingnya ada sumur dengan airnya yang payau tempat kami mandi dan mencuci pakaian. Di depan gubuk Ibu menanak nasi atau membuat bubur. Malam hari saya sering berbaring telentang di bangku panjang memandangi bintang-bintang di langit dan bertanya-tanya dalam hati apakah kekuatan yang mengatur peredaran bintang-bintang itu juga yang mengatur hidup kami ini. Tidak pernah terpikir oleh saya saat itu saya akan kembali ke tempat ini dalam keadaan yang sangat jauh berbeda. Dulu saya hanya bisa naik oplet dan selalu mengkorting uang untuk sopir sehingga sering kena damprat. Sekarang ke mana-mana saya diantar sopir dengan mobil sedan perusahaan. Dulu saya sering menebak-nebak siang ini makan apa. Sekarang saya bisa makan apa saja di mana saja hanya berbekal selembar kartu plastik tanpa bingung mengeluarkan uang karena perusahaan yang membayar semua tagihannya. Dulu saya sering berpikir seberapa sakitkah bila leher saya diletakkan di atas rel kereta api dan membiarkan roda lokomotip yang besar itu memotongnya (mengenai hal ini pernah saya tulis dalam artikel berjudul “Just a kid”). Sekarang saya telah menjadi anak tebusan Kristus dan tahu bunuh diri adalah terlarang. Ketika ingat nama Kristus terlentik sepercik cahaya dalam benak saya. Jikalau dulu kamu bisa berdiri tegak dalam serba keterbatasanmu, apakah sekarang kamu tidak bisa menghadapi kesulitan hidup ini dengan kepala tegak? Dari perbedaan tingkat kehidupan yang begitu jauh, masih tidakkah kau lihat kasih setia Tuhan Allah menyertai kamu? Keluar dari perusahaan adalah sebuah pengingkaran atas pendampingan Allah di dalam hidupmu. Tetap tinggal di perusahaan seperti Sadrakh-Mesakh-Abednego dalam dapur api. Beranikah kamu tetap tegar dalam kekudusan dengan menanggung segala risiko demi kemuliaan Nama Tuhanmu? Saya membayar teh botol. Diam-diam punggung tangan saya menyeka mata. Saya kembali berjalan ke arah timur. Ringan langkah saya, ringan hati saya. Menjelang pelintasan kereta api jalan sedikit menanjak. Tanpa menoleh saya tahu di sisi kanan dulu ada kios persewaan buku tempat saya menyewa buku-buku silat Kho Ping Hoo. Dari mana uangnya? Saya mengkorup uang belanja. Ibu selalu menugasi saya belanja ke pasar di timur pelintasan kereta api. Ibu tidak tahu harga beras naik turun setiap minggu. Bila harga naik saya minta tambahan uang, bila turun saya tidak melapor. Setelah melewati pelintasan kereta api saya berbelok ke kanan. Mobil saya menunggu di sana. Saya membuka pintu mobil dan ketika akan masuk mata saya melihat beberapa warung makan tenda di tepi jalan. Dari sebuah warung pemiliknya yang sudah tua beradu pandang dengan saya. Saya tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia membalas mengangguk ragu dengan wajah heran. Pak Tua, kamu tidak mengenal saya. Dulu saya sering berlama-lama berdiri memandangi orang-orang yang sedang makan di warungmu sambil berharap ada orang mengajak saya makan bersamanya menyantap ikan goreng atau ayam goreng. Baru sekarang ada Orang yang berbaik hati memasukkan uang di saku saya untuk makan sepuas-puasnya di warungmu. “Sudah jam sebelas. Kita makan di sini,” kata saya kepada sopir sambil menutup pintu mobil. “Makan di sini, Pak?” “Mengapa tidak?” “Banyak debu, Pak” “Banyak debu banyak vitamin. Terserah kamu mau ikut atau tidak.” Ia tidak tahu saya mau balas dendam memuaskan keinginan saya di masa lalu yang belum terpenuhi. Saya mau makan nasi dengan lauk 2 potong besar ayam goreng dan minum satu gelas besar kopi susu di warung Pak Tua itu. Dan pemilik warung itu bergegas melap meja ketika dua orang lelaki dengan pakaian rapi dan bersepatu masuk ke tendanya. – o – Dua cerita di atas sama-sama bernuansa nostalgia, bukan? Tetapi bila Anda mencernanya dengan teliti, pasti Anda merasakan dua cerita itu tidak saling berkaitan walaupun sama-sama berlabel ‘nostalgia’. Yang membuat dua cerita itu tidak berkaitan adalah motifnya. Yang pertama motifnya adalah membangkitkan kenangan masa lalu yang menyenangkan, sedangkan yang kedua kepada masa lalu yang menyedihkan. Bila nostalgia pada cerita ke-2 membuat yang bersangkutan bisa menimba kembali kekuatan baru, mengisi ulang “baterai”nya, apa yang didapat yang bersangkutan dalam cerita ke-1? Sebuah daftar panjang perbandingan antara mantan kekasihnya dengan istrinya yang sekarang. Celakanya, nilai mantan pasti lebih bagus. Tidak ada orang yang mau bernostalgia dengan mantannya bila tahu pasti nilai mantannya jauh di bawah pasangan hidupnya yang sekarang. Nostalgia cinta memberikan hasil positip bila mereka yang berlibat dalam masa lalu dan masa sekarang adalah orang-orang yang sama. Saya dan istri saya mengunjungi kembali tempat-tempat di mana kami dulu menumbuh-kembangkan cinta kami. Kami makan di warung bakso langganan kami semasa pacaran sambil saling mengingatkan seperti dulu “masing-masing pesan ½ porsi dan minumnya teh tawar saja, ya” dan kemudian sama-sama cengengesan. Atau bersama-sama mengunjungi rumah pertama setelah kami menikah agar kami makin disadarkan betapa besar berkat Tuhan kepada kami sehingga bisa tinggal di rumah kami yang sekarang yang jauh lebih baik. Saya sengaja menulis 2 cerita di atas berurutan untuk menunjukkan bahwa ketika orang merencanakan bernostalgia cinta dengan mantannya, ia sering tidak menyadari motif nostalgianya tidak seperti bila ia mengunjungi SD Inpres tempat ia dulu bersekolah; mengunjungi panti asuhan tempat orangtuanya pernah menitipkan dirinya gara-gara ia ketahuan mengintip CD ibu gurunya; mengunjungi mantan guru Sekolah Minggunya yang mau-maunya dulu mencarinya keliling kota selama 4 hari ketika ia minggat dari rumah. Lalu apa motif bernostalgia dengan mantan kekasih? Mari kita simak lagu jaman dulu yang tidak pernah berkurang penggemarnya ini. Sengaja aku datang ke kotamu lama nian tidak bertemu ingin diriku mengulang kembali berjalan-jalan bagai tahun lalu Walau diriku kini tlah berdua dirimu pun tiada berbeda namun kenangan spanjang jalan itu tak mungkin lepas dari ingatanku Sepanjang jalan kenangan kita slalu bergandeng tangan Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu menambah nikmatnya malam syahdu (Sepanjang jalan kenangan – Is Haryanto – Tetty Kadi) Sebuah laku nostalgia yang aman. Sang tokoh “aku” datang ke kota tempat tinggal mantannya. Ia menyadari masing-masing pihak telah menikah. Namun ia rindu mengulang kembali kenangan indah ketika bergandengan tangan di sebuah jalan. Itu saja. Lagu ini tidak menjelaskan apa yang kemudian dilakukan oleh “aku”. Bila lagu ini ditulis dalam bahasa Inggris, bait ke-1 dan ke-2 akan mempergunakan kata kerja waktu sekarang, sedangkan bait ke-3 mempergunakan kata kerja waktu lampau. Yang bisa jadi bahan pemikiran adalah mengapa “aku” ingin mengulang kembali peristiwa itu? Apakah bukan suasana hati yang sedang galau dan rasa kesepian yang menjadi pemicu laku nostalgia ini? Terhadap siapa? Siapa lagi kalau bukan kepada pasangan hidupnya yang sekarang, yang tidak lagi menyukakan hatinya. Mari kita berandai-andai. Seandainya kita ada di posisi si “aku” ini, apakah kita hanya berjalan menyusuri jalan kenangan itu sambil merasakan nikmatnya disiksa rasa rindu yang mengoyak jiwa? (yang digambarkan melalui melodi yang mendayu). Jauh-jauh dari Jakarta terbang ke Jogja, hanya untuk berjalan bolak-balik Tugu – Beringharjo sepanjang malam sementara mata kita melihat orang-orang berjalan berpasang-pasangan sambil bergandengan tangan atau berangkul mesra? Waktu kita duduk kelelahan di atas tikar penjual jagung bakar di Alun-alun Utara dan tangan yang merogoh saku mencari dompet menyentuh hape, apakah kita tidak tergoda untuk mengirim SMS atau miss call kepadanya? Halah! Satu juta rupiah lebih ongkos jalan dan penginapan masak menelepon just to say hello tidak boleh? Tetapi beberapa kesaksian membuktikan kata “hello” ternyata adalah kata yang mengawali dan memicu sebuah cerita panjang yang berakhir dengan tragedi perkawinan. Cinta pertama, walaupun kandas tak pernah karam. Cinta pertama walau terkubur tak pernah hancur. Ia bagai rumput yang hangus musnah terbakar sinar matahari di musim kemarau. Hilang tak berbekas sehingga orang lupa di tanah itu pernah tumbuh serumpun rumput hijau. Teteskanlah air di tanah itu. Setiap pagi, setiap sore. Rumput itu walaupun lenyap dari permukaan tanah, ia masih menyimpan akar yang tahan berbulan-bulan tanpa air. Begitu ia mulai tersentuh air, akarnya mulai menggeliatkan sebuah kehidupan baru dan mendorong sepucuk tunas muncul di permukaan tanah. Hape bergetar, sebuah panggilan masuk. Tombol “received” dipencet dan terdengarlah suara dari masa lalu yang tak asing di gendang telinga yang kasmaran, “Mas, ada di mana sekarang?” Getar-getar suara lembut menelusup dari telinga menyebarkan arus hangat ke seluruh tubuh. Seperti yang dulu kita rasakan ketika pertama kali menyentuh tangannya, yang memberi rasa damai ketika kita lembut memeluk tubuhnya, yang membuat kita bisa melupakan segala masalah hidup yang menghimpit. Ah, betapa nikmatnya getar-getar gaib yang tak pernah raib dari ingatan itu. Tak lagi kita sempat mendengar suara hati nurani berbisik lemah, “Jangan mengingini isteri sesamamu” (Keluaran 20:17) ketika kita memanggil taksi dan menyuruh pengemudinya bergegas ke Amplas – AmbarukmoPlaza. Ia sedang berada di sana hanya bersama puteranya. Apakah berdosa menemui mantan kekasih tanpa mengingininya menjadi istri kita? Bukankah orang Kristen tidak boleh bercerai? Ini hanya masalah sebuah kerinduan. Betul. Tetapi rindu yang terlarang seperti yang dikisahkan dalam lagu di bawah ini. Sekian lama sudah kita tlah berpisah Kurasa kini kau tak sendiri lagi Akupun kini seperti dirimu Satu hati telah mengisi hidupku Tak perlu engkau tahu rasa rindu ini dan lagi, mungkin kini kau telah bahagia Namun andai kau dengar syair lagu ini Jujur saja aku sangat merindukanmu Memang tak pantas menghayal tentang dirimu Sebab kau tak lagi seperti yang dulu Kendati berat rasa rinduku padamu Biar ‘kan kuhadang rinduku terlarang Biar kusimpan saja, biar kupendam sudah Terlarang sudah rinduku padamu Biar ‘kan kuhadang rinduku terlarang Kupuisikan rindu hatiku Kuharap tiada seorangpun tahu Biar kusimpan saja, biar kupendam sudah Terlarang sudah rinduku padamu (Rindu yang terlarang – Harry Tasman – Broery Marantika & Dewi Yull) Rindu yang terlarang bila dibiarkan bebas melayang walau hanya dalam angan-angan bisa membuat kita berzinah tanpa harus tidur berdua dalam satu kamar (Matius 5:27,28). Rindu yang membuat kita diam-diam menobatkan sang mantan menjadi “istri rohani” tanpa perlu sebuah upacara gerejawi. Dengan halus kita membujuk istri merubah gaya potongan rambutnya menjadi seperti yang dimiliki mantan kita. Kita mulai mengajak istri ke rumah makan untuk menyantap menu-menu kegemaran mantan kita. Dan amit-amit, ketika making love dengan istri, kita membayangkan sedang melakukannya dengan sang mantan. Mengapa harus mencintai masa lalu sementara mencintai masa kini saja bukanlah pekerjaan yang mudah? Kecuali, kita meragukan campur tangan Tuhan dalam hidup kita hari ini dan pada hari-hari mendatang sehingga kita ingin kembali ke masa lalu. Pasti Anda tidak demikian, bukan? (the end)
0 komentar:
Silahkan untuk memberikan komentar di sini :
Kirimkan kritik dan saran anda?